Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional
Pada
artikel lain
telah disebutkan beberapa tujuan pendidikan yang pernah muncul dalam Sejarah.
Plato sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Ia
mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas
dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Aristoteles mempunyai tujuan
pendidikan yang mirip dengan Plato, tetapi ia mengaitkannya dengan tujuan
negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir
dari pembentukan negara yang harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan
penyusunan hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama konstitusi, yaitu
kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia). Tujuan universitas di
Eropah adalah mencari kebenaran. Pada era Restorasi Meiji di Jepang, tujuan
pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan negara; pendidikan dirancang adalah
untuk kepentingan negara.
Bagaimana tujuan pendidikan nasional
dengan di republik ini? UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3
menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang." Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia."
Jabaran
UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003.
Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Bila
dibandingkan dengan undang-undang pendidikan sebelumnya, yaitu Undang-Undang
No. 2/1989, ada kemiripan kecuali berbeda dalam pengungkapan. Pada pasal 4
ditulis, "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung-jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan." Pada Pasal 15, Undang-undang yang sama, tertulis,
"Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan
pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial,
budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam
dunia kerja atau pendidikan tinggi."
Bila
dipelajari, di atas kertas tujuan pendidikan nasional masih sesuai dengan
substansi Pancasila, yaitu menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan yang Maha Esa. Namun, apakah tujuan pendidikan ini dijabarkan secara
konsisten di dalam kurikulum pendidikan dan juga dalam sistem pembelajaran?
Jawabannya masih diragukan.
BAB I
DEFINISI PENDIDIKAN
1.1.Definisi Pendidikan Secara Umum
Definisi
pendidikan menurut para ahli, diantaranya adalah :
Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses
pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan
biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi
secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social.
Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa
dan kelompok dimana dia hidup.
(A. Yunus, 1999 : 7)
Menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus
menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang
telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan,
seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan
kemanusiaan dari manusia.
(A. Yunus, 1999 : 7)
Menurut Frederick J. Mc Donald, pendidkan adalah
suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia.
Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang,
sesuatu yang dilakukan oleh sesorang.
(A. Yunus, 1999 : 7-8)
Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap
pergaulan yang terjadi adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa
dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan
mendidik itu berlangsung.
(A. Yunus, 1999 :
1.2.Definisi Pendidikan Menurut Islam
Pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang
berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang
bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu
pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.
(Nur
Uhbiyati, 1998)
Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya
sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang
secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam
mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang
bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial sedangkan
pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau
lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup,
atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang kedua
pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam
yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).
Ruang
Lingkup Pendidikan Islam
1.
Pendidikan Keimanan
“Dan
ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberikan pelajaran
kepadanya:”hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesengguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang nyata.” (Q.S
31:13)
Bagaimana
cara mengenalkan Allah SWT dalam kehidupan anak?
- Menciptakan
hubungan yang hangat dan harmonis (bukan memanjakan)
Jalin hubungan komunikasi yang baik dengan anak, bertutur kata lembut, bertingkah laku positif.
Hadits Rasulullah : “cintailah anak-anak kecil dan sayangilah mereka…:” (H.R Bukhari)
“Barang siapa mempunyai anak kecil, hendaklah ia turut berlaku kekanak-kanakkan kepadanya.” (H.R Ibnu Babawaih dan Ibnu Asakir) - Menghadirkan sosok Allah melalui aktivitas rutin
Seperti ketika kita bersin katakan
alhamdulillah. Ketika kita memberikan uang jajan katakan bahwa uang itu titipan
Allah jadi harus dibelanjakan dengan baik seperti beli roti.
- Memanfaatkan momen religious
Seperti Sholat bersama, tarawih bersama
di bulan ramadhan, tadarus, buka shaum bareng.
- Memberi
kesan positif tentang Allah dan kenalkan sifat-sifat baik Allah
Jangan mengatakan “ nanti Allah marah kalau kamu berbohong” tapi katakanlah “ anak yang jujur disayang Allah”. - Beri teladan
Anak akan bersikap baik jika orang tuanya
bersikap baik karena anak menjadikan orang tua model atau contoh bagi
kehidupannya.
“hai orang-orang yang beriman mengapa
kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”.(Q.S 61:2-3)
- Kreatif dan terus belajar
Sejalan dengan perkembangan anak. Anak
akan terus banyak memberikan pertanyaan. Sebagai orang tua tidak boleh merasa
bosan dengan pertanyaan anak malah kita harus dengan bijaksana menjawab segala
pertanyaannya dengan mengikuti perkembangan anak.
2.
Pendidikan Akhlak
Hadits
dari Ibnu Abas Rasulullah bersabda:
“…
Akrabilah anak-anakmu dan didiklah akhlak mereka.”
Rasulullah
saw bersabda:
”Suruhlah
anak-anak kamu melakukan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun dan
pukullah mereka kalau meninggalkan ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan
pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud)
Bagaimana
cara megenalkan akhlak kepada anak :
- Penuhilah kebutuhan emosinya
Dengan mengungkapkan emosi lewat cara
yang baik. Hindari mengekspresikan emosi dengan cara kasar, tidak santun dan
tidak bijak. Berikan kasih saying sepenuhnya, agar anak merasakan bahwa ia
mendapatkan dukungan.
Hadits Rasulullah : “ Cintailah
anak-anak kecil dan sayangilah mereka …:” (H.R Bukhari)
- Memberikan pendidikan mengenai yang haq dan bathil
“Dan janganlah kamu campur adukan yang
haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu
mengetahui .”(Q.S 2:42)
Seperti bahwa berbohong itu tidak baik,
memberikan sedekah kepada fakir miskin itu baik.
- Memenuhi janji
Hadits Rasulullah :”…. Jika engkau
menjanjikan sesuatu kepada mereka, penuhilah janji itu. Karena mereka itu hanya
dapat melihat, bahwa dirimulah yang memberi rizki kepada mereka.” (H.R
Bukhari)
- Meminta maaf jika melakukan kesalahan
- Meminta tolong/ mengatakan tolong jika kita memerlukan bantuan.
- Mengajak anak mengunjungi kerabat
3.
Pendidikan intelektual
Menurut
kamus Psikologi istilah intelektual berasal dari kata intelek yaitu proses
kognitif/berpikir, atau kemampuan menilai dan mempertimbangkan.
Pendidikan
intelektual ini disesuaikan dengan kemampuan berpikir anak. Menurut Piaget
seorang Psikolog yang membahas tentang teori perkembangan yang terkenal juga
dengan Teori Perkembangan Kognitif mengatakan ada 4 periode dalam
perkembangan kognitif manusia, yaitu:
Periode
1, 0 tahun – 2 tahun (sensori motorik)
- Mengorganisasikan tingkah laku fisik seperti menghisap, menggenggam dan memukul pada usia ini cukup dicontohkan melalui seringnya dibacakan ayat-ayat suci al-Quran atau ketika kita beraktivitas membaca bismillah.
Periode
2, 2 tahun – 7 tahun (berpikir Pra Operasional)
- Anak mulai belajar untuk berpikir dengan menggunakan symbol dan khayalan mereka tapi cara berpikirnya tidak logis dan sistematis.
Seperti contoh nabi Ibrahim mencari
Robbnya.
Periode
3, 7 tahun- 11 tahun (Berpikir Kongkrit Operasional)
- Anak mengembangkan kapasitas untuk berpikir sistematik
Contoh : Angin tidak terlihat tetapi
dapat dirasakan begitu juga dengan Allah SWT tidak dapat dilihat tetapi ada
ciptaannya.
Periode
4, 11 tahun- Dewasa (Formal Operasional)
- Kapasitas berpikirnya sudah sistematis dalam bentuk abstrak dan konsep
4.
Pendidikan fisik
- Dengan memenuhi kebutuhan makanan yang seimbang, memberi waktu tidur dan aktivitas yang cukup agar pertumbuhan fisiknya baik dan mampu melakukan aktivitas seperti yang disunahkan Rasulullah
“
Ajarilah anak-anakmu memanah, berenang dan menunggang kuda.” (HR. Thabrani)
5.
Pendidikan Psikis
“Dan
janganlah kamu bersifat lemah dan jangan pula berduka cita, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu benar-benar orang yang
beriman.” (QS. 3:139)
- Memberikan kebutuhan emosi, dengan cara memberikan kasih saying, pengertian, berperilaku santun dan bijak.
- Menumbuhkan rasa percaya diri
- Memberikan semangat tidak melemahkan
1.3.Definisi
Pendidikan Menurut Perspektif Nasional
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis
untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa
kepada sejumlah subjek didik melalui proses pembelajaran. Sistem nilai tersebut
tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar pandangan
hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian dituangkan dalam
Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Dasar dan
perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di antaranya tercermin
dalam sistem pendidikan yang dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai
pendidikan dapat dilihat pada tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat. Secara umum tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara
terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
BAB II
TUJUAN PENDIDIKAN
2.1.
Tujuan Pendidikan Pancasila
Rumusan
formal konstitusional dalam UUD 1945 maupun dalam GBHN dan Undang-Undang
Kependidikan lainnya yang berlaku adalah tujuan normative GBHN 1983 merumuskan
tujuan pendidikan nasional sebagai berikut :
“Pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan tarhadap
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan , mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air,
agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa
(A.
Yunus, 1998 : 165)
2.2. Tujuan Umum Pendidikan Manusia
a. Hakikat manusia menurut Islam
Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat
wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh
pembawaan dan lingkungan.
Dalam
teori pendidikan lama, yang dikembangkan didunia barat, dikatakan bahwa
perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme) sebagai
lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang
hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme), sebagai sintesisnya
dikembangkan teori ketiga yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang
ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya (konvergensi)
Manusia adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani,
akal, dan rohani sebagai potensi pokok, manusia yang mempunyai aspek jasmani,
disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 :
“Carilah kehidupan akhirat dengan apa
yang dikaruniakan Allah kepadamu tidak boleh melupakan urusan dunia “
b. Manusia Dalam Pandangan Islam
Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani
yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup
didunia.
Manusia
mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan kepada akal
tidak hanya satu macam. Harun Nasution menerangkan ada tujuh kata yang
digunakan :
1.
Kata Nazara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”
2.
Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”
3.
Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 :
“Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit,
dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin manusia”.
4.
Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 :
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (kemedan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya”
5.
Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 :
“Maka
apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan
apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.
6.
Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 :
“Dan
ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan
kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.
7.
Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya
binatang(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang
pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.
Manusia
mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 :
“Maka Aku telah menyempurnakan
kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”.
3.
Manusia Sempurna Menurut Islam
-
Jasmani Yang sehat Serta Kuat dan Berketerampilan
Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya
karena inti ajaran Islam (iman). Kesehatan mental berkaitan erat dengan
kesehatan jasmani, karena kesehatan jasmani itu sering berkaitan dengan
pembelaan Islam.
Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan dengan ciri
lain yang dikehendaki ada pada Muslim yang sempurna, yaitu menguasai salah satu
ketrampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.
Para
pendidik Muslim sejak zaman permulaan – perkembangan Islam telah mengetahui
betapa pentingnya pendidikan keterampilan berupa pengetahuan praktis dan
latihan kejuruan. Mereka menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan
dalam surat Hud ayat 37 :
“Dan
buatlah bahtera itu dibawah pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan jangan kau
bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu karena meeka itu akan
ditenggelamkan”.
- Cerdas Serta Pandai
Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai yang
ditandai oleh adanya kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan
tepat, sedangkan pandai di tandai oleh banyak memiliki pengetahuan dan
informasi. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat dilihat melalui indikator-indikator
sebagai berikut :
a) Memiliki sains yang banyak dan
berkualitas tinggi.
b) Mampu memahami dan menghasilkan
filsafat.
c) Rohani yang berkualitas tinggi.
Kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada
kekuatan akal. Karena kekuatan jasmani terbatas pada objek-objek berwujud
materi yang dapat ditangkap oleh indera.
Islam sangat mengistemewakan aspek kalbu. Kalbu dapat
menembus alam ghaib, bahkan menembus Tuhan. Kalbu inilah yang merupakan potensi
manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh. Bahkan iman itu, menurut al
Qur’an tempatnya didalam kalbu.
2.3.
Tujuan Pendidikan Islam (Khusus)
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam
ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan
haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang
dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu
merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan
hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam
surat a Dzariyat ayat 56 :
“
Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah
itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan
zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu
mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan)
kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya
agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek
kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan,
perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut
al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu,
mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah
laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup
di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan
masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam
masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan
dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi,
dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan
islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup
dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir
pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut
Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunia dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan
melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa tujuan pendidikan islam
pada intinya adalah :
terwujudnya
manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan
seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri
ialah beribadah kepada Allah.
Fokus Tujuan Pendidikan Bahasa Arab
Oleh: Prof..Dr.H.Saidun Fiddaroini, M.A.
1.
Tujuan Teoretis.
Tujuan teoretis yang dimaksudkan disini adalah tujuan yang dirumuskan dalam beberapa literatur berdasarkan hasil penelitian yang telah lalu. Tujuan ini perlu diketahui oleh para pendidik dan para pelajar agar terdapat kontrol bentuk kegiatan yang sedang berlangsung sesuai dengan arah tujuannya. Di samping itu perlu keselarasan tujuan antara pendidik dan pelajar agar dapat terlaksana proses pembelajaran yang efektif dan efisein. Aspek tujuan ini sangat penting karena menentukan bagaimana metode, apa sarana yang diperlukan secara langsung dan seberapa lama waktu yang diperlukan serta bagaimana proses evaluasinya.
Tujuan Pendidikan Bahasa Arab bisa diketahui melalui tujuan pembelajarannya. Dalam arti yang sempit dan konkret wujud pendidikan bahasa Arab adalah pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Tujuan pembelajaran bahasa secara teoretis berarti tujuan menumbuhkan kemampuan berbahasa. Dengan pembelajaran bahasa secara terus menerus dapat diperoleh keterampilan berbahasa, yang umumnya masih dikenal dengan empat macam keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca dan menulis (Djago Tarigan dan H.G. Tarigan: 1987, 22). Dengan ungkapan lain dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa (asing) adalah diperolehnya kemampuan menggunakan bahasa (asing) baik secara pasif atau pun aktif (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 33).
Selanjutnya dapat dinalar bahwa tujuan pembelajaran bahasa Arab bagi pihak pendidik adalah agar dapat menjadikan bahasa Arab mudah dikuasai oleh para pelajar. Adapun tujuan bagi pihak pelajar adalah agar dapat menguasai bahasa Arab. Penguasaan bahasa Arab secara aktif atau pasif itu pada dasarnya adalah cara pandang terhadap pemakaian bahasa. Ketika berperan sebagai pendengar berarti sedang bersikap pasif dalam arti menerima pemahaman, meskipun cara mendengar dan memahaminya itu dengan aktif. Seseorang yang sudah dapat menggunakan suatu bahasa dengan berbicara berarti sudah menguasai bahasa dengan aktif. Karena itu pada dasarnya tujuan pembelajaran bahasa adalah agar bahasa dapat dikuasai, dengan mempergunakannya secara aktif.
Tujuan teoretis yang dimaksudkan disini adalah tujuan yang dirumuskan dalam beberapa literatur berdasarkan hasil penelitian yang telah lalu. Tujuan ini perlu diketahui oleh para pendidik dan para pelajar agar terdapat kontrol bentuk kegiatan yang sedang berlangsung sesuai dengan arah tujuannya. Di samping itu perlu keselarasan tujuan antara pendidik dan pelajar agar dapat terlaksana proses pembelajaran yang efektif dan efisein. Aspek tujuan ini sangat penting karena menentukan bagaimana metode, apa sarana yang diperlukan secara langsung dan seberapa lama waktu yang diperlukan serta bagaimana proses evaluasinya.
Tujuan Pendidikan Bahasa Arab bisa diketahui melalui tujuan pembelajarannya. Dalam arti yang sempit dan konkret wujud pendidikan bahasa Arab adalah pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Tujuan pembelajaran bahasa secara teoretis berarti tujuan menumbuhkan kemampuan berbahasa. Dengan pembelajaran bahasa secara terus menerus dapat diperoleh keterampilan berbahasa, yang umumnya masih dikenal dengan empat macam keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca dan menulis (Djago Tarigan dan H.G. Tarigan: 1987, 22). Dengan ungkapan lain dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa (asing) adalah diperolehnya kemampuan menggunakan bahasa (asing) baik secara pasif atau pun aktif (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 33).
Selanjutnya dapat dinalar bahwa tujuan pembelajaran bahasa Arab bagi pihak pendidik adalah agar dapat menjadikan bahasa Arab mudah dikuasai oleh para pelajar. Adapun tujuan bagi pihak pelajar adalah agar dapat menguasai bahasa Arab. Penguasaan bahasa Arab secara aktif atau pasif itu pada dasarnya adalah cara pandang terhadap pemakaian bahasa. Ketika berperan sebagai pendengar berarti sedang bersikap pasif dalam arti menerima pemahaman, meskipun cara mendengar dan memahaminya itu dengan aktif. Seseorang yang sudah dapat menggunakan suatu bahasa dengan berbicara berarti sudah menguasai bahasa dengan aktif. Karena itu pada dasarnya tujuan pembelajaran bahasa adalah agar bahasa dapat dikuasai, dengan mempergunakannya secara aktif.
2.
FenomenaTujuan Pembelajaran
Disini dikemukakan beberapa praktek pembelajaran bahasa Arab yang pernah ada, misalnya di suatu pondok pesantren. Disebutkan bahwa tujuannya adalah:
1. Secara minimal, santri bisa berkomunikasi dengan bahasa Arab yaumiyah.
2. Santri bisa menulis, mengarang dan kegiatan lainnya dengan bahasa Arab.
3. Santri dapat memahami, mengembangkan serta mengamalkan ilmu agama Islam dengan cara membaca literatur-literatur yang berbahasa Arab (Tim Peneliti Fakultas Adab: 1990, 27).
Tujuan pembelajaran bahasa Arab di tempat-tempat yang memang khusus untuk pendidikan bahasa Arab, seperti kursus-kursus, sering kali dipilah-pilah menjadi tiga tingkat, yakni:
1. Tingkat (mustawa) I adalah agar mampu berbicara bahasa Arab aktif,
2. Mustawa II adalah agar mampu berbahasa Arab dengan memahami tata bahasa Arab,
3. Mustawa III adalah agar mampu membaca kitab kuning, menterjemah kitab kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Ada kesamaan pemilahan tujuan secara bertahap dengan tujuan pembelajaran bahasa Arab di pondok-pondok pesantren, yakni dimulai dengan keterampilan berbicara sesederhana mungkin tanpa mempedulikan tata bahasa, yang biasa disebut dengan bahasa Arab yaumiyah, kemudian penanaman kesahihan dalam berbahasa Arab dengan memperhatikan tata bahasanya, dan selanjutnya diharapkan pada tingkat akhir pelajar bisa memanfaatkan bahasa Arab untuk memperdalam pengetahuannya tantang agama dengan membaca literatur-literatur keagamaan yang berbahasa Arab.
Dengan dipahaminya ilmu-ilmu agama diharapkan para pelajar atau santri dapat mengamalkannya. Artinya, pada ujung-ujungnya tujuan pembelajaran bahasa Arab secara praktis utamanya adalah untuk mendalami agama Islam. Tujuan demikian tanpa disadari mengarah pada kemahiran berbahasa secara pasif, karena sekedar mendengar atau membaca. Tujuan praktis yang pasif ini sangat tidak menguntungkan bagi pengembangan pendidikan bahasa Arab.
Disini dikemukakan beberapa praktek pembelajaran bahasa Arab yang pernah ada, misalnya di suatu pondok pesantren. Disebutkan bahwa tujuannya adalah:
1. Secara minimal, santri bisa berkomunikasi dengan bahasa Arab yaumiyah.
2. Santri bisa menulis, mengarang dan kegiatan lainnya dengan bahasa Arab.
3. Santri dapat memahami, mengembangkan serta mengamalkan ilmu agama Islam dengan cara membaca literatur-literatur yang berbahasa Arab (Tim Peneliti Fakultas Adab: 1990, 27).
Tujuan pembelajaran bahasa Arab di tempat-tempat yang memang khusus untuk pendidikan bahasa Arab, seperti kursus-kursus, sering kali dipilah-pilah menjadi tiga tingkat, yakni:
1. Tingkat (mustawa) I adalah agar mampu berbicara bahasa Arab aktif,
2. Mustawa II adalah agar mampu berbahasa Arab dengan memahami tata bahasa Arab,
3. Mustawa III adalah agar mampu membaca kitab kuning, menterjemah kitab kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Ada kesamaan pemilahan tujuan secara bertahap dengan tujuan pembelajaran bahasa Arab di pondok-pondok pesantren, yakni dimulai dengan keterampilan berbicara sesederhana mungkin tanpa mempedulikan tata bahasa, yang biasa disebut dengan bahasa Arab yaumiyah, kemudian penanaman kesahihan dalam berbahasa Arab dengan memperhatikan tata bahasanya, dan selanjutnya diharapkan pada tingkat akhir pelajar bisa memanfaatkan bahasa Arab untuk memperdalam pengetahuannya tantang agama dengan membaca literatur-literatur keagamaan yang berbahasa Arab.
Dengan dipahaminya ilmu-ilmu agama diharapkan para pelajar atau santri dapat mengamalkannya. Artinya, pada ujung-ujungnya tujuan pembelajaran bahasa Arab secara praktis utamanya adalah untuk mendalami agama Islam. Tujuan demikian tanpa disadari mengarah pada kemahiran berbahasa secara pasif, karena sekedar mendengar atau membaca. Tujuan praktis yang pasif ini sangat tidak menguntungkan bagi pengembangan pendidikan bahasa Arab.
3.
Idealisasi Tujuan
Dalam kenyataannya kelihatan bahwa para pelajar bahasa Arab tingkat pemula sangat bersemangat berbicara dalam bahasa Arab sementara nantinya pada tingkat akhir atau para santri yang sudah dewasa dan tergolong kelas senior kelihatan tidak begitu antusias untuk bercakap-cakap dengan bahasa Arab, kecuali hanya dengan bersikap pasif saja. Demikian ini boleh jadi karena para senior merasa sudah bisa dan atau menjaga diri agar tidak dianggap “sok pamer”, atau bisa jadi karena lebih banyak dipengaruhi oleh sikapnya yang tawadlu’ dan pantang ria’ khsusunya dalam berbicara dengan bahasa asing. Suatu hal yang tidak diinginkan adalah bila pasifnya para santri senior dalam berbahasa Arab itu sebetulnya adalah karena tidak mampu berbahasa Arab dengan aktif.
Dalam kalangan perguruan tinggi, pembelajaran bahasa Arab bertujuan agar dapat memenuhi kebutuhan perguruan tinggi sendiri yang sangat memerlukan kemampuan dalam berbahasa Arab aktif untuk kepentingan dunia ilmiah dan diplomasi kalangan dosen atau perguruan tinggi secara umum (P3M IAIN Sunan Ampel: 1990, 93). Dalam perkembangan selanjutnya disebutkan bahwa tujuan pengajaran bahasa di IAIN Sunan Ampel adalah agar para mahasiswa mampu memahami literatur-literatur yang ditulis dalam bahasa asing, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris (Sentra Kajian Bahasa IAIN Sunan Ampel: 1998, 6).
Kelihatan nyata bahwa tujuan yang dicanangkan pada tahap awal adalah agar dapat berbicara secara sederhana, dan pada tahap akhir adalah agar mampu memahami teks-teks berbahasa Arab yang ternyata mengarah kepada kemampuan berbahasa Arab secara pasif. Karena itu bisa dinyatakan bahwa tujuan praktis pembelajaran bahasa Arab selama ini adalah agar bahasa Arab itu dikuasai secara pasif, baik di kalangan pondok-pondok pesantren maupun di kalangan akademisi perguruan tinggi, dan juga di tempat-tempat kursus yang mengkhususkan kegiatannya hanya pada pendidikan bahasa Arab, sama saja.
Tujuan praktis pembelajaran bahasa Arab tersebut menyebabkan tidak disiapkannya sarana-prasarana untuk proses pembelajaran sesuai dengan tuntutan teori hasil-hasil penelitian dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu bahasa Arab tetap saja tidak memasyarakat, meskipun banyak yang berambisi untuk mendirikan atau memperjuangkan pembelajaran bahasa Arab. Bagaimana bisa memasyarakat bila kemampuan berbahasa Arab itu pada akhirnya hanya diperlukan secara pasif?
Langkah maju adalah sebaliknya, bahwa bahasa Arab bisa memasyarakat bila tujuan belajar bahasa Arab sesuai dengan tujuan teoretis ilmiah, yaitu untuk dapat menguasai bahasa Arab sehingga dapat dipergunakan secara aktif. Sebagai konsekuensinya, sarana dan prasarana dipersiapkan sesempurna mungkin untuk memenuhi tuntutan pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan yang teoretis ideal tersebut. Inilah tantangan dan sekaligus peluang bagi guru, dosen dan para peneliti pengembangan pendidikan bahasa Arab untuk merancang program pendidikan bahasa Arab yang mengarah pada tujuan penguasaan bahasa Arab secara aktif.
Sampai di sini kelihatan jelas bahwa pembelajaran bahasa Arab masih dipengaruhi oleh motif agama, yang mengarah pada kepasipan, meskipun di kalangan akademisi dalam lingkungan peguruan tinggi, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sering kali pembelajaran bahasa Arab sampai dewasa ini masih diampu oleh para pengajar atau dosen yang dianggap mampu berbahasa Arab tanpa latar belakang ilmu-ilmu keguruan sebagai syaratnya.
Perlu dimaklumi bahwa kenyataan ini bermula dari anggapan bahwa para pelajar yang dianggap sudah mampu berbahasa Arab adalah bila mereka sudah dapat menguasai ilmu nahwu dan sharaf. Pelajar dengan kemampuan demikian ini yang selanjutnya dipercaya menjadi pengajar. Meskipun sudah diketahui bahwa syarat-syarat untuk menjadi tenaga pendidik harus dipenuhi tetapi berbeda dalam kasus pengajar bahasa Arab. Kualifikasi pengajar dengan standar kemampuan ilmu nahwu dan sharaf lebih diutamakan dari pada ilmu-ilmu kependidikan. Itu semua menyebabkan tujuan pengajaran bahasa Arab selalu ditarik ke arah kemampuan pasif.
Keberanian membuat langkah maju yang baru itulah tuntutannya sekarang ini. Meskipun hanya bisa dilaksanakan dalam kalangan terbatas karena masalah beaya atau pengajarnya, namun itu masih jauh lebih baik dari pada terdapat banyak lembaga-lembaga pembelajaran bahasa Arab yang tidak dipersiapkan dengan baik dan menimbulkan kesan negatif terhadap bahasa Arab. Dalam kasus tujuan pembelajaran bahasa Arab ini dibutuhkan penyusunan kurikulum dari segi tujuannya. Perlu diadakan refisi sesuai dengan tuntutan akademis, tidak lagi dirumuskan agar memiliki keterampilan membaca kitab gundul.
Jujur saja, bahwa rumusan tujuan pembelajaran bahasa Arab yang selalu seperti itu, sebabnya tidak lain adalah adanya terbitan kitab-kitab yang tidak dilengkapi dengan syakal. Tidak akan ada lagi tujuan belajar membaca kalau semua teks bahasa Arab sudah sempurna dilengkapi dengan syakal. Dari sini awal mula muncul dan berkembangnya pendidikan bahasa Arab yang bertujuan pada keterampilan membaca.
Masalahnya sekarang ini adalah memberikan keinsafan kepada para penulis dan penerbit agar mau menyempurnakan tulisannya. Kesulitan teknis dalam penyempurnaan tulisan itu sudah sangat tidak layak untuk dijadikan alasan. Begitu juga kalau penambahan beaya tinta untuk syakal dianggap sebagai suatu pemborosan, maka sebetulnya justru sedikit penghematan beaya tinta itu yang menye-babkan terjadinya pemborosan besar-besaran. Demikian ini karena banyak kitab gundul dalam perpustakaan menumpuk tidak ada yang membaca, gara-gara “kegundulannya” itu. Ini suatu pemborosan yang terjadi selama ini.
Manakala masalah ini bersumber dari konsep yang keliru, bahwa selama ini tulisan bahasa Arab yang tidak bersyakal dianggap sudah sempurna, maka salah satu langkah strategi pengembangan pendidikan bahasa Arab ini adalah meluruskan konsep tersebut. Dengan tertatanya kembali konsep tersebut maka tujuan pembelajaran secara otomatis akan kembali kearah yang semestinya, tidak lagi belajar membaca, tetapi belajar agar dapat menguasai bahasa Arab dengan aktif. Adapun penataan konsep tentang kesempurnaan tulisan bahasa Arab, maka perlu diuraikan dalam bagian tersendiri secara rinci.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Sur
Dalam kenyataannya kelihatan bahwa para pelajar bahasa Arab tingkat pemula sangat bersemangat berbicara dalam bahasa Arab sementara nantinya pada tingkat akhir atau para santri yang sudah dewasa dan tergolong kelas senior kelihatan tidak begitu antusias untuk bercakap-cakap dengan bahasa Arab, kecuali hanya dengan bersikap pasif saja. Demikian ini boleh jadi karena para senior merasa sudah bisa dan atau menjaga diri agar tidak dianggap “sok pamer”, atau bisa jadi karena lebih banyak dipengaruhi oleh sikapnya yang tawadlu’ dan pantang ria’ khsusunya dalam berbicara dengan bahasa asing. Suatu hal yang tidak diinginkan adalah bila pasifnya para santri senior dalam berbahasa Arab itu sebetulnya adalah karena tidak mampu berbahasa Arab dengan aktif.
Dalam kalangan perguruan tinggi, pembelajaran bahasa Arab bertujuan agar dapat memenuhi kebutuhan perguruan tinggi sendiri yang sangat memerlukan kemampuan dalam berbahasa Arab aktif untuk kepentingan dunia ilmiah dan diplomasi kalangan dosen atau perguruan tinggi secara umum (P3M IAIN Sunan Ampel: 1990, 93). Dalam perkembangan selanjutnya disebutkan bahwa tujuan pengajaran bahasa di IAIN Sunan Ampel adalah agar para mahasiswa mampu memahami literatur-literatur yang ditulis dalam bahasa asing, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris (Sentra Kajian Bahasa IAIN Sunan Ampel: 1998, 6).
Kelihatan nyata bahwa tujuan yang dicanangkan pada tahap awal adalah agar dapat berbicara secara sederhana, dan pada tahap akhir adalah agar mampu memahami teks-teks berbahasa Arab yang ternyata mengarah kepada kemampuan berbahasa Arab secara pasif. Karena itu bisa dinyatakan bahwa tujuan praktis pembelajaran bahasa Arab selama ini adalah agar bahasa Arab itu dikuasai secara pasif, baik di kalangan pondok-pondok pesantren maupun di kalangan akademisi perguruan tinggi, dan juga di tempat-tempat kursus yang mengkhususkan kegiatannya hanya pada pendidikan bahasa Arab, sama saja.
Tujuan praktis pembelajaran bahasa Arab tersebut menyebabkan tidak disiapkannya sarana-prasarana untuk proses pembelajaran sesuai dengan tuntutan teori hasil-hasil penelitian dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu bahasa Arab tetap saja tidak memasyarakat, meskipun banyak yang berambisi untuk mendirikan atau memperjuangkan pembelajaran bahasa Arab. Bagaimana bisa memasyarakat bila kemampuan berbahasa Arab itu pada akhirnya hanya diperlukan secara pasif?
Langkah maju adalah sebaliknya, bahwa bahasa Arab bisa memasyarakat bila tujuan belajar bahasa Arab sesuai dengan tujuan teoretis ilmiah, yaitu untuk dapat menguasai bahasa Arab sehingga dapat dipergunakan secara aktif. Sebagai konsekuensinya, sarana dan prasarana dipersiapkan sesempurna mungkin untuk memenuhi tuntutan pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan yang teoretis ideal tersebut. Inilah tantangan dan sekaligus peluang bagi guru, dosen dan para peneliti pengembangan pendidikan bahasa Arab untuk merancang program pendidikan bahasa Arab yang mengarah pada tujuan penguasaan bahasa Arab secara aktif.
Sampai di sini kelihatan jelas bahwa pembelajaran bahasa Arab masih dipengaruhi oleh motif agama, yang mengarah pada kepasipan, meskipun di kalangan akademisi dalam lingkungan peguruan tinggi, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sering kali pembelajaran bahasa Arab sampai dewasa ini masih diampu oleh para pengajar atau dosen yang dianggap mampu berbahasa Arab tanpa latar belakang ilmu-ilmu keguruan sebagai syaratnya.
Perlu dimaklumi bahwa kenyataan ini bermula dari anggapan bahwa para pelajar yang dianggap sudah mampu berbahasa Arab adalah bila mereka sudah dapat menguasai ilmu nahwu dan sharaf. Pelajar dengan kemampuan demikian ini yang selanjutnya dipercaya menjadi pengajar. Meskipun sudah diketahui bahwa syarat-syarat untuk menjadi tenaga pendidik harus dipenuhi tetapi berbeda dalam kasus pengajar bahasa Arab. Kualifikasi pengajar dengan standar kemampuan ilmu nahwu dan sharaf lebih diutamakan dari pada ilmu-ilmu kependidikan. Itu semua menyebabkan tujuan pengajaran bahasa Arab selalu ditarik ke arah kemampuan pasif.
Keberanian membuat langkah maju yang baru itulah tuntutannya sekarang ini. Meskipun hanya bisa dilaksanakan dalam kalangan terbatas karena masalah beaya atau pengajarnya, namun itu masih jauh lebih baik dari pada terdapat banyak lembaga-lembaga pembelajaran bahasa Arab yang tidak dipersiapkan dengan baik dan menimbulkan kesan negatif terhadap bahasa Arab. Dalam kasus tujuan pembelajaran bahasa Arab ini dibutuhkan penyusunan kurikulum dari segi tujuannya. Perlu diadakan refisi sesuai dengan tuntutan akademis, tidak lagi dirumuskan agar memiliki keterampilan membaca kitab gundul.
Jujur saja, bahwa rumusan tujuan pembelajaran bahasa Arab yang selalu seperti itu, sebabnya tidak lain adalah adanya terbitan kitab-kitab yang tidak dilengkapi dengan syakal. Tidak akan ada lagi tujuan belajar membaca kalau semua teks bahasa Arab sudah sempurna dilengkapi dengan syakal. Dari sini awal mula muncul dan berkembangnya pendidikan bahasa Arab yang bertujuan pada keterampilan membaca.
Masalahnya sekarang ini adalah memberikan keinsafan kepada para penulis dan penerbit agar mau menyempurnakan tulisannya. Kesulitan teknis dalam penyempurnaan tulisan itu sudah sangat tidak layak untuk dijadikan alasan. Begitu juga kalau penambahan beaya tinta untuk syakal dianggap sebagai suatu pemborosan, maka sebetulnya justru sedikit penghematan beaya tinta itu yang menye-babkan terjadinya pemborosan besar-besaran. Demikian ini karena banyak kitab gundul dalam perpustakaan menumpuk tidak ada yang membaca, gara-gara “kegundulannya” itu. Ini suatu pemborosan yang terjadi selama ini.
Manakala masalah ini bersumber dari konsep yang keliru, bahwa selama ini tulisan bahasa Arab yang tidak bersyakal dianggap sudah sempurna, maka salah satu langkah strategi pengembangan pendidikan bahasa Arab ini adalah meluruskan konsep tersebut. Dengan tertatanya kembali konsep tersebut maka tujuan pembelajaran secara otomatis akan kembali kearah yang semestinya, tidak lagi belajar membaca, tetapi belajar agar dapat menguasai bahasa Arab dengan aktif. Adapun penataan konsep tentang kesempurnaan tulisan bahasa Arab, maka perlu diuraikan dalam bagian tersendiri secara rinci.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Sur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar